Malesung adalah sebuah daerah yang berada di bagian timur laut
pulau Celebes. Daerah yang banyak mengandung mineral ini dikelilingi oleh hutan
tropis yang cukup luas. Keadaan topografi Malesung terdiri dari dataran rendah,
dataran tinggi, dataran pantai, bukit–bukit, pegunungan, lereng dan gunung. Cakupan
wilayahnya meliputi juga beberapa pulau, seperti: Bunaken, Manado Tua,
Mantehage, Nain, Siladen, Gangga, Lihaga, Bangka, Lembe, Pakolor dan beberapa
pulau kecil lainnya di sekitar jazirah Celebes bagian utara.
Ada sembilan suku
pribumi yang mendiami Malesung, yaitu; Babontehu (mendiami Manado, pulau ManadoTua, pulau Bunaken, pulau Mantehage dan pulau Gangga), Bantik
(mendiami Singkil, Tongkaina, Malalayang dan daerah sepanjang pesisir pantai
utara dan barat), Tonsea (mendiami Tonsea, Kalabat di atas dan Likupang),
Tombulu (mendiami Tomohon, Sarongsong, Tombariri, Kakaskasen, Ares, Negeri
Baru, Kalabat di bawah dan Manado), Tolour (mendiami Tondano Tuoliang,
Tondano Toulimambot, Kakas dan Romboken), Tountemboan (mendiami Langowan, Tompaso,
Kawangkoan, Sonder, Rumoong dan Tombasian), Tonsawang (mendiami Tombatu dan
Touluaan), Pasan (mendiami Ratahan) dan Ponosakan (mendiami Belang). Kesembilan
suku ini memiliki wilayah kekuasaannya masing-masing dengan batas-batas wilayah
yang telah ditentukan oleh para leluhur mereka.
Ada tiga golongan
masyarakat di dalam setiap suku di Malesung, yakni; Tonaas (golongan orang yang
memiliki kecakapan, kemampuan dan keterampilan tertentu yang berhubungan dengan
pengurusan suku), Walian (golongan pemimpin spiritual agama suku/alifuru) dan yang
terakhir adalah golongan masyarakat biasa.
Dalam satu wilayah suku terdapat beberapa
Walak (distrik) yang dipimpin oleh Ukung Tu’a (Kepala Distrik) masing-masing,
dan di dalam setiap Walak terdapat beberapa Wanua (pemukiman) yang di pimpin juga
oleh masing-masing Ukung (Kepala Pemukiman). Setiap Ukung dipilih oleh warganya
berdasarkan penilaian atas kemampuannya dalam mengurus marga, juga memiliki
keberanian, ketekunan dan keuletan dalam menghadapi segala persoalan yang
merupakan tantangan marga, dan sanggup merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Ia juga harus kuat dan dapat diandalkan secara fisik dalam mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh marga, dan sanggup memimpin peperangan,
dan menjunjung tinggi martabat marga serta wanua yang dipimpinnya. Ukung
dipilih dari golongan Tonaas.Ukung Tu’a dipilih di antara para Ukung oleh para Ukung
se-wilayah per-Walak-an itu sendiri.
Dalam setiap wilayah
suku terdapat berhektar-hektar lahan pertanian sawah dan ladang. Hasil-hasil
alam yang bermanfaat bagi manusia, seperti; rempah-rempah, buah-buahan,
sayuran, padi, tanaman obat, kayu dan rotan adalah komoditi yang banyak
ditemukan di Malesung, selain juga hewan-hewan buruan, hasil laut dan tangkapan
di danau.
Di sepanjang daerah
pesisir pantai Malesung terdapat beberapa dermaga yang menghubungkan Malesung
dengan dunia luar. Dermaga-dermaga ini terletak di Amurang (Tontemboan),
Tanawangko (Tombulu), Manado (Babontehu dan Bantik), Likupang (Tonsea), Kema
(Tonsea), Atep (Tolour) dan Belang (Ponosakan). Sebelum orang Eropa datang di
Malesung, penduduk setempat telah menjadikan dermaga sebagai salah satu pusat
kegiatan ekonomi. Mereka membuka diri terhadap pedagang-pedagang dari luar,
seperti dari kerajaan Sangihe, Siau, Talaud, Maluku, Makassar, Bone, Gowa-talo,
Jawa, India dan Cina.
Pada abad keenam belas
pelaut-pelaut Spanyol di bawah bendera perusahaan dagang Tasikela Pax Lusitania
memasuki pelabuhan-pelabuhan di Malesung. Perusahaan dagang yang memiliki
pasukan bersenjata ini berdagang dengan penduduk setempat dengan sistem barter.
Mereka menukarkan bumbu-bumbu, barang-barang dan benda-benda berharga bawaan
mereka dengan hasil bumi Malesung. Mereka diterima dengan baik oleh orang-orang
di Malesung, dan diberikan izin oleh para Ukung untuk menetap di daerah sekitar
pelabuhan Manado dan pelabuhan Amurang. Walaupun sebenarnya besaran wilayah mereka
di Manado diperoleh dengan cara menipu Dotu Lolong Lasut yang menjabat sebagai
Ukung Tu’a Wenang saat itu.
Mereka menjadikan
Malesung sebagai lumbung pangan untuk kepentingan ekspedisi dagang mereka di
dunia timur jauh. Hampir selama satu setengah abad lamanya orang-orang Spanyol
tinggal di Malesung. Mereka berbaur dengan setiap suku yang ada, dan bahkan
menikahi perempuan-perempuannya. Lama-kelamaan orang-orang Spanyol ini mulai
memonopoli dan mengatur sistem perdagangan di Malesung. Mereka juga dengan
lancang mulai mencampuri urusan-urusan adat.
Pada abad ke tujuh
belas terjadi peperangan antara orang-orang pribumi Malesung dengan orang-orang
Spanyol. Saat itu kesembilan suku ini telah mengikat perjanjian untuk bersatu
di bawah satu nama Maesa. Peperangan ini terjadi karena orang-orang Spanyol
yang datang berdagang itu mulai menindas orang-orang di Malesung. Dalam
usahanya itu Maesa mengutus beberapa orangnya ke Maluku untuk meminta bantuan
persenjataan dari V.O.C (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang adalah
perusahaan dagang milik pemerintah Belanda. Sebagai imbalannya V.O.C meminta
pihak Maesa untuk membuatkan benteng bagi mereka di Manado--sebuah daerah
pelabuhan yang cukup besar dan ramai di Malesung yang berada dalam teritori
suku Tombulu, Babontehu dan Bantik, mereka juga meminta agar orang-orang Maesa nantinya secara
berkesinambungan melihara, merawat dan memperbaiki benteng tersebut, termasuk
kapal-kapal V.O.C yang rusak, ditambah lagi setiap tahun suku-suku Maesa harus
membawa beras ke dalam benteng yang jumlahnya telah ditentukan. Pihak V.O.C
berjanji akan menjaga keamanan di Malesung. Mulai saat itu V.O.C dan Maesa
terikat oleh perjanjian persahabatan.
Oleh pemerintah Belanda
V.O.C mendapatkan fasilitas berupa pasukan bersenjata. Mereka juga dapat
mengadakan diplomasi dengan menggunakan nama pemerintah Belanda dengan
kerajaan, negara, bangsa atau suku lain. Saat itu, kebanyakan perusahaan dagang
milik kerajaan atau negara di Eropa mendapatkan keistimewaan seperti itu.
Setelah Maesa berhasil
mengusir orang-orang Spanyol keluar dari Malesung, Manado dijadikan wilayah
keresidenan di bawah pengawasan Gubernur Belanda di Maluku. Dengan demikian
V.O.C menjadikan Manado sebagai pusat Malesung. Orang-orang Belanda mulai
tinggal dan menetap di Manado . Mereka berbaur dan berinteraksi dengan
orang-orang Maesa, dan bahkan mulai mencampuri urusan-urusan internal Maesa.
Hutang pihak Maesa terhadap V.O.C terus ditagih dari generasi ke generasi.
Pejabat-pejabat Residen Belanda di Manado juga datang silih berganti salama
ratusan tahun dengan membawa misi yang sama, "untuk keuntungan dan
kejayaan mereka".
V.O.C bangkrut dan
ditutup pada tahun 1799. Permerintah Bataafsche Republiek Belanda mengambil
alih semua aset dan kontrak-kontrak milik V.O.C. Keresidenan Manado yang
sudah berada di bawah kekuasaan Bataafsche Republiek Belanda masih juga
menuntut pembayaran hutang tersebut. Bahkan di tahun 1803 setelah sistem
pemerintahan Belanda telah berubah dari Bataafsche Republiek menjadi Kerajaan
Belanda hutang tersebut masih tetap ditagih.
Tahun 1806 di awal bulan Juli, dua buah kapal Inggris yang
dipimpin oleh Kapten Charles Elphinstone tiba-tiba muncul di teluk Manado ,
dan membakar sebuah kapal milik Kerajaan Belanda. Kapten Elphinstone kemudian
memberikan surat ultimatum kepada Residen Carel Ch. Predigger untuk menyerahkan
benteng Niew Amsterdam. Residen Predigger membalas suratnya dengan nada
menantang, tetapi kemudian Kapten Elphinstone tidak melayaninya dan pergi
meninggalkan teluk Manado . Sebenarnya Kapten Elphinstone telah menyuplai persenjataan kepada orang-orang dari anak suku Tondano Touliang di pantai Atep. Mereka menukarkan persenjataan berupa senapan, mesiu dan meriam tersebut dengan hasil-hasil pertanian dan hutan.
Bersambung...
1 comment:
hahaha masih ja ba tulis reen
Post a Comment